Karakteristik Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib
Ali bin Abu Thalib
Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Luay bin Kilab Al - Qurasy dilahirkan di Makkah 10 tahun sebelum kerasulan. Ibunya bernama Fathimah binti Assad binti Hasyim binti Abdu Manaf. Ia masuk Islam dan ikut hijrah bersama Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW diangkat sebagai utusan Allah diketahui bahwa Ali adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Saat itu Ali belum genap berusia 13 tahun. Ali juga adalah seorang sahabat yang turut serta bersama Rasululah SAW dalam seluuh perang yang di ikuti oleh beliau, kecuali perang tabuk saja. Sebab ketika itu ali di angkat sebagai pengganti rasulullah di madinah. Ali tercatat sebagai seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.
Ali bin Abi Thalib merupakan saudara sepupu Muhammad, suami anak perempuan Nabi yang paling disayang, Fathimah, ayah dua orang anak laki-laki, Al-Hasan dan Al-Husain. Ia adalah seorang yang ramah, bersahabat, saleh, dan pemberani. Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang jauh kedepan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang yang dermawan.
Setelah Utsman wafat, Ali diangkat sebagai khalifah keempat di Masjid Nabawi Madinah pada 24 Juni 656 tepatnya pada hari jum‟at 13 Dzulhijjah 35 Hijriyah tercatat bahwa Thalhah adalah orang pertama yang membaiatnya.. Ali bin Abi Thalib dibaiat di tengah tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat islam di Madinah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior di kota madinah seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Umar bin Khattab agar bersedia menjadi khalifah namun mereka semua menolak. Akan tetapi baik kaum pemberontak maupun kaum anshor dan muhajirin lebih menginginkan Ali sebagai khalifah. Ali dibaiat oleh mayoritas kaum Muhajirin dan Anshor karena dengan alasan bahwa umat islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar. Ali tidak dibaiat oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak para sahabat senior ketika itu tidak berada di kota madinah dan sebagian tidak bersedia membaiat Ali. Namun Ali menolak, sebab Ali menghendaki agar diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat sahabat senior terkemuka.
Menurut pendapat golongan yang terbanyak dari mereka, tidaklah ada yang lebih pantas memegang jabatan khalifah ini selain Ali. Lalu mereka minta kepadanya supaya sudi memangku jabatan itu, tetapi Ali enggan. Lantaran keras desakan mereka permintaan itu dikabulkannya juga. Pidatonya setelah diangkat diantara lain ialah: “Wahai manusia, kamu telah membai‟at saya sebagaimana yang telah kamu lakukan kepada khalifah-khalifah yang terdahulu dari padaku. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan, apabila pilihan telah jatuh, menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Bai‟at terhadap diriku ini ialah bai‟at yang rata, yang umum. Barangsiapa yang mungukir daripadanya terpisahlah dia dari agama Islam”. Thalhah dan Zubair mula-mula enggan, tetapi kemudian mereka ikut juga membai‟at karena dipaksa oleh kaum pemberontak.
Tugas pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan Negara. Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. yang di anggap sebagai sumber fitnah dan penyebab bangkitnya para pemberontak menentang Utsman. Utsman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa‟ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Suriah Muawiyah, juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahannya. Oleh karena itu, banyak menimbulkan kebencian dari para gubernur yang hidup senang selama masa Utsman termasuk Mu‟awiyah.
Pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Pemerintahan Khalifah bertambah lemah karena banyaknya terjadi perang-perang saudara. Oleh karena itu, terhentinya gerakan peluasan Islam. Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan ini disertai ancaman, apabila Ali tidak segera bertindak, mereka akan berjuang melawan Ali.
Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya. Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan kekhalifahan.Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, Khalifah Utsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.
Tantangan pertama yang akan diselesaikannya ialah yang datang dari pihak „Aisyah dan kawan-kawannya. Dalam hal ini, Ali mempunyai kesabaran. Sebab: pertama, ia sendiri tidak mengetahui siapa sebenarnya pembunuh Utsman. Kedua, ia mengetahui benar latar belakang politik yang mendorong dan membangkitkan kemarahan kaum Muslimin yang memberontak. Ketiga, ia tidak mengetahui dengan tepat siapa sesungguhnya oknum yang menggerakkan pemberontakan.
Seorang yang zahid dan shaleh seperti Ali, tidak dapat bertindak hanya atas dasar dugaan atau prasangka semata-mata. Hukuman harus benar-benar dijatuhkan kepada pihak yang benar-benar terbukti berbuat salah. Ia memiliki rasa tanggung jawab yang besar sekali kepada Allah swt, kepada Rasul-Nya dan kepada umat. Untuk menyelesaikan tuntutan „Aisyah dan kawan-kawannya, Ali membutuhkan waktu agar bentuk penyelesaiannya tidak sampai mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat. Akan tetapi „Aisyah dan kawan-kawannya tidak sabar menunggu lebih lama. Mereka membentuk suatu pasukan untuk melawan „Ali. Pasukan ini dipusatkan di kota Bashrah (salah sebuah kota di wilayah Irak sekarang).
Sesudah lima bulan „Ali memangku jabatan sebagai khalifah, ia mengambil keputusan untuk meninggalkan Madinah dan berangkat sendiri memimpin suatu pasukan untuk mematahkan perlawanan „Aisyah, Zubair, dan Thalhah. Tampaknya „Ali bermaksud menumpas pasukan pemberontak, tetapi harus dapat menyelamatkan „Aisyah, Ummul Mu‟minin (Ibu kaum Mukminin)
Dalam perang saudara seagama, sebangsa, dan setanah air ini, terbunuhlah Zubair dan Thalhah. „Aisyah akhirnya berhasil ditangkap „Ali dalam keadaan selamat dan dipulangkan kembali ke Madinah dengan mendapat perlakuan sepatutnya sebagai Ummul Mu’minin. „Aisyah tidak di tawan. Ia dibebaskan dan diminta supaya tetap tinggal di Madinah sebagai ibu umat Muslimin. Peristiwa perang saudara atau perang sesama umat Islam sebangsa dan setanah air antara pihak „Ali dengan pihak „Aisyah dan kawan-kawannya, dalam sejarah dikenal dengan sebutan waqi’atul jamal (perang unta). Penamaan diambil dari peristiwa terjadinya suatu pertempuran sengit disekitar unta yang dikendarai oleh „Aisyah ra. Setelah pemberontakan Thalhah dan Zubair dapat diselesaikan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kuffah
Setelah selesai perang di Bashrah, Ali mengarahkan tenteranya ke Kufah. Diutusnya Jarir ibn Abdullah Al Bajali kepada Mu‟awiyah supaya mengangkat bai‟at kepadanya. Namun muawiyah memberi jawaban, bahwa ba‟iat belum dapat dilangsungkan sebelum darah Utsman diselesaikan, dan kalau tidak selesai, bukan ba‟iat yang akan terjadi tetapi perang.
Kabar dari Syam itu segera disampaikan oleh Jarir kepada Ali, Mula-mula Ali mengajak saja supaya berhadap-hadapan satu dengan satu, diantara dia dengan Mu‟awiyah sebagai adat yang biasa. Mudah-mudahan mati salah satu. Siapa yang tinggal dialah yang menang. Dan mengambil pangkat khalifah. Tetapi Mu‟awiyah tidak mau, hanya Amr yang mau. Setelah berhadap-hadapan dan menyentak lembing dan pedang masing-masing, hampir saja Amr tewas oleh pedang Ali. Setelah itu dimulailah peperangan besar, mula-mula menang Mu‟awiyah, tetapi akhirnya tentaranya terpaksa mundur sebab keras serangan tentara Ali. Dalam pertempuran yang sangat hebat itu, tiba-tiba naik sajalah berkeping-keping Al-Qur‟an dikepala tombak pasukan Mu‟awiyah, atas suruhan Amr. Ada orang yang berseru: “berhentiah perang, mari kita berhukum kepada kitab Allah,”
Melihat al-Qur‟an dinaikkan itu tentara Ali lemah tangannya, tidak mau menyerang lagi. Padahal mereka hampir menang. Menurut keyakinan Ali, ini hanya tipu daya musuh saja. Mereka mengangkat al-Qur‟an hanyalah tipuan belaka.
Lalu diutusnya Asy‟ast ibn Qaist pergi menemui Muawiyah, menanyai apa maksudnya mengangkat al-Qur‟an di atas kepala tombak itu. Mu‟awiyah menjawab bahwa maksudnya ialah supaya perkara ini dihukumkan saja menurut hukum kitabullah, yaitu diadakan utusan dari kedua belah pihak, disuruh keduanya membicarakan menurut kitabullah. Mana yang diputuskan oleh kedua orang yang diutus itu, itulah kelak yang diikut bersama, tidak dilawan lagi, usul Mu‟awiyah itu diterima Asy‟ast lalu disampaikannya kepada Ali. Sebelum Ali menyatakan pikirannya dengan tergesa orang banyak telah menjawab saja; “kami setuju!”. Mendengar itu orang syam berkata: “utusan kami ialah „Amr ibn Al-Ash”. Orang Irak (pengikut Ali) berkata: “ kami memilih Abu Musa Al-Asy‟ari”.
Mendengar itu Ali berkata: “jika telah kamu bantah perintahku pada permulaan pekerjaan, sekarang janganlah dibantah pula. Saya tidak suka berwakil kepada Abu Musa”. Tetapi orang banyak mengeraskan Abu Musa juga. Sekali lagi Ali terpaksa menurut. Waktu itu mulailah terbayang bahwa pengaruh Ali mulai hilang dalam pengikutnya. Pada hal pengaruh Mu‟awiyah bertambah besar pada tentaranya.
Sebelum utusan-utusan itu berkumpul diadakan gencatan senjata. Pada waktu yang ditentukan berkumpullah kedua utusan berkuasa penuh itu di Daumatul Jandal. Keduanya telah sepakat bahwa keduanya datang kesitu ialah hendak mencari perdamaian, menghentikan peperangan sesama Islam. Setelah habis perkataan itu, merekapun setujulah atas menjatuhkan Ali dan menjatuhkan Mu‟awiyah sekali. Setelah sampai di tempat berkumpul, Abu Musa menyuruh Amr lebih dahulu berkata dihadapan orangbanyak, menerangkan kesepakatan mereka. Amr menjawab: “Subhanallah, adakah patut saya berdiri lebih dahulu dari engkau, padahal engkau lebih dahulu memeluk Islam, lebih dahulu hijrah. Padahal engkau yang diutud oleh ahli Yaman kepada Rasullullah, engkaulah yang patut lebih dahulu berbicara dihadapan orang banyak, setelah itu barulah saya”.
Abu Musa pun berbicara: “Wahai manusia, huru-hara ini telah menghabiskan bangsa Arab, telah musnah. Sebab itu kami telah sependapat dengan Amr menjatuhkan Ali dan Mu‟awiyah, dan mengemukakan Abdullah bin Umar buat penggantinya, sebab Abdullah bin Umar itu tidak campur dalam peperangan ini, baik tangannya atau lidahnya”. Dengan muka berseri-seri tegak pula Amr lalu berkata: “Tentu kamu ingat bahwa Abu Musa ini salah seorang ketua yang terkemuka kaum Muslimin. Dialah wakil ahli Irak, dia tidak sudi menjual agama dengan dunia, dia telah menjatuhkan Ali dari pangkatnya dan saya sendiri, saya tetapkan Mu‟awiyah”.
Hal ini menimbulkan huru-hara yang tidak putus-putusnya.Ali disesalkan mengapa sudi menerima tahkim. Kalau akan begini juga lebih baik diserahkannya saja khalifah kepada Mu‟awiyah sejak semula, tidak akan sulit itu urusan. Satu golongan tidak setuju sama sekali dengan tahkim kepada kedua wakil itu. Mereka hanya berhukum kepada kitabullah: “Tidak ada hukum melainkan ditangan Allah”, itulah semboyan kaum itu. Mereka dinamai Khawarij, keluar dari golongan Ali.Oleh sebab itu, terjadilah perpecahan politik menjadi tiga golongan yaitu kelompok pendung Ali, kelompok Mu‟awiyah, dan kelompok khawarij.
0 Response to "Karakteristik Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib"
Posting Komentar